Rabu, 29 Januari 2014

Aku Juga Memiliki Kahyangan

Well life will pass me by if i don’t open up my eyes. Well, that’s fine by me” –AVICII–

Hal ini berawal dari sebuah tulisan yang ditulis oleh Dara Prayoga berjudul Yth, Ayah yang Kuharap Menjadi Ayahku yang kubaca pada siang hari 26 Januari 2014. Aku sendiri tak mengenal Dara Prayoga. Aku hanya mengenalnya melalui timeline twitter seseorang. Seorang pengamat hidupkah aku tak peduli. Aku hanya tertarik dengan yang ia tulis. Mengenai ‘kahyangan’ atau tokoh Ayah penjaga kahyangan tersebut, dan juga bidadari kecilnya.

Jika yang ia tulis itu sebuah realita, maka realita tersebut mungkin dimiliki oleh banyak orang di dunia. Tentunya dengan kejadian yang berbeda-beda dengan tokoh Ayah. Akupun salah satunya yang pernah mengalaminya. Bedanya dengan Dara Prayoga, aku tak pernah bertemu dengan tokoh Ayah, bidadari kecilnya sendiri yang menghalang-halangiku untuk bertemu bicara bahkan sedekar untuk menyapa, bahkan melihatpun tak pernah. Bahkan jika ada aku juga tak pernah bertemu dengan tokoh Ibu, tokoh Kakak atau yang lain. Alasannya jelas, sang bidadari kecil takut untuk men-show up hubungan yang dijalani waktu itu. Aku pun harus mengerti, karena bidadari kecil jelas lebih mengenal tokoh Ayah sehingga bisa mengira-ngira apa yang terjadi jika aku bertemu sang ayah.

Aku juga memiliki apa yang disebut kahyangan. Kahyanganku adalah rumah bercat merah jambu yang sebagian dindingnya terlapisi keramik berwarna merah tua. Berpagar jeruji berwarna merah tua dan banyak tumbuhan didepannya. Berandanya terisi dengan meja rendah lebar yang kadang juga digunakan untuk duduk, diatasnya terdapat tumpukan koran, mungkin terbitan beberapa hari lalu. Sedangkan untuk koran hari ini masih terhampar dan ditinggalkan oleh pembacanya, sebuah halaman penuh gambar, berwarna dominan pink dan pada headernya tertulis “FOR HER”. Benda lain yang ada disana mungkin hanya penebah dan daun kering yang berasal dari tumbuhan dekat pagar.

Daya tarik kahyangan ini adalah bidadari kecilnya yang keluar dengan pakaian khas anak rumah dan rambut yang sedikit basah. Sepertinya habis mandi. Karena dia takkan mengizinkanku datang kesana jika ia belum mandi. Setelah itu ia mempersilahkanku di beranda dan aku tak pernah masuk ke ruang lain. Disana ia akan kembali menekuri bacaan koran yang ia tinggalkan tadi mungkin selagi mandi dan membiarkanku memandangnya lama-lama sambil heran kepada diri sendiri mengapa aku yang seperti ini bisa mendapatkan bidadari yang begitu manisnya.

Hal lain yang mungkin dilakukan adalah ia akan masuk membawa dua air mineral kemasan, menaruhnya didekatku yang akhirnya ikut juga membaca koran. Ia mulai mendengarkan lagu dari mp3 player di handphonenya. Lalu mulai bertanya-tanya, tentang keadaanku, tentang teman-temanku atau pendapatku tentangnya. Suaranya yang khas anak kecil mengalir renyah melewati gendang telinga, memukul tulang-tulang pendengaran lalu biologi seperti tak berlaku lagi, efek suara itu akan mengalir ke hati, menaikkan kadar gula darah untuk sebuah energi yang akan kugunakan beberapa minggu berikutnya.

Kebahagian itu akan berakhir pada pukul 1 siang, saat jam tokoh Ayah pulang dari kantor. Saat itu dengan wajah mendesak setengah panik ia akan menyuruhku pulang, membawakanku beberapa gelas air mineral dan mengatakan “Hati-hati di Jalan”. Sama seperti Dara Prayoga, kata-kata yang diucapkannya itu membuatku meleleh dan rasanya tidak mustahil untuk terbang. Aku tersenyum.

Kedua kalinya aku berkunjung ke kahyangan, dia menangis. Gara-garanya, saat itu sekolahku dan sekolahnya akan pulang pagi karena dalam suasana halal bi halal seusai Idul Fitri. Dan aku akan ke sekolahnya dan pulang bersama. Ternyata sekolahku tidak jadi pulang pagi. Ia lalu pulang sendiri menaiki angkot. Dan saat aku menyusulnya ternyata di sekolahnya sudah tak ada. Aku pun bergegas ke rumahnya, ke kahyangan. Disana, hanya ada tumpukan koran tanpa sehelai halaman yang terhampar. Hanya, disana terdapat jaket almamater berwarna merah marun bertuliskan namanya dan jaket tersebut basah dibagian kerahnya karena digunakan untuk mengelap air mata. Aku lalu memanggil ke dalam. Ia keluar dengan pakaian seragam dan mata yang sembap sedikit terisak, lalu duduk. Aku lalu mengambil satu gelas air mineral, kutancapkan sedotan diatasnya, mengelap air matanya sambil meminta maaf. Ia berhenti terisak namun air mata masih mengalir di matanya. Sebenarnya aku siap untuk menjadi 'a shoulder to cry on’ untuknya, namun keadaan kami sedang berada di beranda bisa dilihat orang yang bisa berprasangka yang tidak-tidak. Aku kembali mengelap air matanya dan meratakan rambutnya yang berantakan dengan tanganku. Matanya masih merah, namun tangisnya reda. Seperti biasanya ia mulai bertanya-tanya dan sedikit bercerita. Aku mendengarkan dan sesekali bercerita. Pulangnya, ia membawakanku segelas air mineral kemasan dan buku Harry Potter seri 3. Kini buku itu masih ada, kuletakkan di sisi tempat tidur untuk kubaca setiap malam sebelum tidur, membaca beberapa kalimat atau hanya sekedar melihat namanya yang tertulis di sampul depan.

Itulah terakhir kalinya aku berada di kahyangan menurut versiku. Kini, kahyangan itu telah pindah dan aku tak tahu dimana. Bidadari kecilnya pun kini sudah melupakanku. Dia punya rencana hidup yang lebih hebat dan akan berjalan tanpa aku. Namun jika ia ingin tahu sambil menunjuk dadaku aku akan meberitahunya bahwa dia masih ada disana.

I leave the door on the latch, if you ever come back, they’ll be a light on the hall and the key under the mat” –The Script–       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar