Kamis, 07 Februari 2013

Biarkan Malam Ini Saja

Sesaat setelah mengerjap-mengerjapkan mata dan mengumpulkan nyawa, kusadari bahwa kini aku telah berada cukup jauh dari penjara surgaku tercinta, Banyuwangi. Kereta yang kunaiki berhenti manis di depan Stasiun Bangil, menunggu kereta Penataran dari arah berlawanan. Disebelahku, kulihat... putri itu sedang tertidur. Seorang putri yang telah menyihirku bahkan sejak masa orientasi lalu.
Suasana hiruk pikuk ini yang membuatku terbangun. Kupalingkan wajah ke depan, seorang temanku masih tertidur pulas seakan tak ada keramaian disini dan yang temanku lainnya berdiri di bordes ujung gerbong memandang keluar berkeliling, kelihatannya ia sangat menikmati perjalanannya. 
Kami perkirakan pukul 2 siang nanti kereta akan sampai di Stasiun Gubeng. Lalu kami akan beristirahat sebentar di sana sembari menunggu kereta kami selanjutnya yang menuju ke Bandung.
Ya, tujuan kami yang jelas kami akan ke Bandung dulu. Tujuan kami sebenarnya adalah ke Sukabumi, mengikuti sebuah lomba. Dengan harapan nantinya bisa menang atau setidaknya ada hal-hal yang akan kami ceritakan pada teman-teman di Banyuwangi.
Bandung juga sebenarnya gelap bagi kami, bocah-bocah udik dari Banyuwangi yang bahkan tidak tahu cara membuat kursi kereta berhadapan. Ya, minim pengetahuan kami tentang ibukota Jawa Barat ini. Yang kami tahu bahwa Bandung adalah tempat dimana gedung sate berada, Cihampelas yang katanya surga untuk shopping itu dan hanya itu mungkin. Menurut petunjuk yang dapat dari browsing ria adalah setelah kami turun dari stasiun Bandung nanti kami harus mencari angkot menuju daerah Kalapa lalu oper naik angkot lain menuju terminal Leuwipanjang dan dari sana kami dapat bus untuk ke Sukabumi. Cukup sederhana, namun apakah sesederhana itu. Bagaimana jika nanti si sopir angkot nanti membawa kami berputar lama sekali lalu setelah sampai meminta bayaran dua kali lipat karena trayek dua kali lebih jauh dan kami sendiri tak menyadari bahwa kami telah di bawa berputar-putar oleh si sopir. Atau bagaimana jika si sopir adalah anggota mafia lalu kami diculik dan meminta tebusan, atau si sopir adalah pedagang organ dalam manusia, atau zombie. Sesaat aku hilangkan pikiran-pikiran absurd itu, dan aku yakinkan Charles Lindbergh yang berhasil menyeberangi Samudra Atlantik dengan pesawat berkokpit terbukanya itu tak pernah punya pikiran bahwa di tengah perjalanannya ia akan bertemu karnivor terbang bertaring sepanjang pulau Jawa.
Sampailah kami di Stasiun Bandung, setelah 24 jam penuh berada di perjalanan serta rehat sejenak di Surabaya. Kabar baik datang karena kami tak perlu ke Leuwipanjang untuk menuju ke Sukabumi. Saudara salah satu guru kami bersedia menjemput kami dari stasiun dan membawa kami ke Sukabumi. Kabar buruknya, rumah saudara guru kami berada agak jauh dari stasiun dan kota Bandung yang macet dimana-mana menambah perjalanan beliau menjadi agak lama.. yah, berjam-jam. Jadi untuk sementara kami harus menunggu di stasiun dan memasang wajah penuh harap.
Singkat cerita, setelah menunggu lama – 5 jam – kami dijemput dan diantarkan ke Sukabumi. Dan di lomba yang kami ikuti kami mendapat juara 3, tidak terlalu mengecewakan untuk dibawa ke Banyuwangi. 
Lalu kami pulang menaiki bus dari Sukabumi berharap bahwa kami dapat mengejar kereta menuju Surabaya, namun ternyata tidak. Dan terpaksa kami harus menginap semalam di Bandung.
Untuk menginap pun kami harus berputar-putar mencari penginapan. Di temani oleh seorang sopir yang baik hati mau mengajak kami berkeliling kota Bandung kami melewati TSM, GOR Lodaya, Sabuga, ITB dan lainnya sebelum kami menemukan sebuah penginapan terjangkau dengan 5 bed didalamnya.
Di penginapan rasanya lelah sekali, setelah diombang-ambingkan dalam perjalanan Sukabumi-Cianjur-Bandung. Sebenarnya jika kami mau, Jalan Asia-Afrika tak jauh dari penginapan kami, lalu kami akan berfoto-foto ria dengan latar belakang kota Bandung malam hari atau melihat gedung Merdeka atau lainnya. Namun saat ini kami ingin tidur karena lelah sekali. Dengan perkiraan kami akan membeli tiket kereta besok pagi-pagi kami lalu dengan tenang tertidur. Sebelum tertidur kulihat putri itu lagi, ia sudah terlelap dengan wajah agak tersenyum namun terlihat lelah. Aku tersenyum lalu menarik selimutku dan tidur.
Esoknya, hari Minggu di Kota Bandung. Sepi, tak terlalu banyak suka ria. Setelah mendapat tiket untuk kami pulang dan kembali ke penginapan. Kulihat si putri sedang bersiap-siap, berpakaian rapi. Aku berpikir bukannya kami pulang baru sore nanti. Lalu kulihat lagi ia mengambil sebuah buku bersampul mengkilat. Ternyata sebuah Alkitab. Aku mafhum, artinya mungkin ia tadi menemukan gereja dan berniat kesana.
“Mau diantar?” kataku yang berdiri ambang pintu kamar.
“Ngga usah, aku buru-buru kok” katanya tak menoleh karena sedang mencari-cari sesuatu.
“Ngga apa-apa, aku ngga apa-apa kok lari-lari dikit” jawabku.
Dia tersenyum namun tak berkata apa-apa. Lalu dia keluar dengan langkah cepat, menuruni tangga, menyongsong jalanan sedangkan aku mengikuti dari belakang. 
Di tengah perjalanan ia berhenti lalu menoleh kearahku
“Mas beneran ngga apa-apa nganterin aku?” tanyanya 
Aku tersenyum.
“ngga apa-apa, aku mastiin kamu sampai ke gereja aja” jawabku
Lalu ia berjalan lagi.
Kami sampai disebuah gereja yang letaknya tidak terlalu jauh dengan penginapan. Sudah banyak orang di sana. Semuanya berpakaian rapi. Aku membayangkan rambutku yang awut-awutan.
“mas tinggal aja, mungkin ini sampai 2 jam” katanya.
“iya udah, nanti pulangnya ati-ati” kataku.
Rupanya kini aku sedang mengkhawatirkan seseorang. Mungkin efek berteman dengan Khozin. Khozin selalu terdiam di depan gerbang sekolah menunggu temannya, ia takkan pulang jika temannya tersebut belum dijemput oleh orang tuanya.
Sore harinya kami check-out dari penginapan dan menuju ke stasiun untuk pulang ke Banyuwangi.
Di kereta aku terdiam. Disebelahku putri sibuk dengan iPadnya dan 2 temanku yang lain sedang asik berdiskusi soal blogging. 
Ternyata aku sudah 696 Km jauhnya dari kotaku. Jika kutarik sebuah benang, pangkalnya ada di kotaku Banyuwangi lalu kukaitkan di Surabaya dan terus tersambung hingga ujungnya ku simpul mati di Bandung. Namun sejauh-jauhnya kota Bandung dari kotaku, aku masih ada di pulau Jawa. Bagaimana dengan Indonesia, negara kepulauan yang luas itu, atau dunia. Bagaimana dengan elegannya Eropa, eksotisnya Afrika atau liberalnya Amerika. Ini masih sebuah perjalanan kecil. Benang yang aku tarik masih jauh lebih pendek dari benang yang ditarik oleh orang-orang seperti Lindbergh, Magelhans, Yuri Gagarin atau Ibnu Batuta. Aku ingin mengelana lebih jauh, mengetahui semua keunikan negeri ini, dan mungkin lebih lagi seberang negeri, seberang benua, menunjukkan bahwa kami adalah bangsa yang bersatu dalam kerberagamannya.
Lamunanku terbangun ketika sebuah kepala tertidur dibahuku. Putri itu telah terlelap lagi, aku canggung, berada didekatnya aku seperti bersedia melakukan apa saja untuknya. Berada didekatnya seperti berada dalam pengaruh baik, seperti pengaruh yang ditimbulkan oleh sebuah bunga. Aku Dan disinilah aku, yang telah beristirahat dari imajinasi-imajinasi liarku, berdoa agar hal ini tak cepat berakhir, dan jika ini berakhir biarkan aku mengenangnya tanpa aku ingin mengulangi, cukup kali ini saja, biarkan malam ini saja.













And when the daylight comes i’ll have to go
But tonight i’m gonna hold you so close
Maroon 5 - Daylight

5 komentar: